Malam ini benar-benar terasa sunyi, di kamarku hanya terdengar suara kipas angin, dan suara samar televisi dari ruang tamu. Biasanya aku menonton tayangan favoritku, tidak untuk kali ini. Adikku sudah terlanjur menyaksikan film kesukaannya yang ditayangkan salah satu stasiun tv. Untuk memecah kesunyian, aku putuskan untuk membaca novel yang kupinjam dari seniorku di kampus.
![]() |
| Dokumen Pribadi |
Re:, itulah judul dari novel yang kupinjam. Novel ini ditulis oleh Maman Suherman atau kerap disapa Kang Maman. Buku ini merupakan karya turunan dari penelitian skripsinya saat S1 di Jurusan Kriminologi Universitas Indonesia pada tahun 1987-89. Novel ini menceritakan tentang seorang perempuan bernama Rere yang menjajakan diri sebagai pelacur. Bukan pelacur biasa, dia seorang pelacur lesbian.
Re:, begitu perempuan itu disapa. Kehidupan Re: dan dunianya sungguh menyayat hati. Bahkan, seusai membaca novel Re: dan mengetik tulisan ini akupun masih menitihkan air mata. Tak sanggup aku membayangkan kejam dan pahitnya dunia Re:. Perempuan berusia 21 tahun tersebut telah memiliki satu orang anak bernama Melur. Anak perempuan Re: itu dititipkan pada seorang tetangga Sinta –teman seprofesi Re:-. Re: merasa terlalu hina untuk menemui putri semata wayangnya itu.
Baca Juga: Kisah Keruh dari Laut Biru
Hingga akhir hayatnya ia tak mau sang putri menemuinya. Re: hanya akan memandanginya dari kejauhan kemudian menitipkan mainan kepada Herman (Maman Suherman) untuk diberikan ke Melur. Teringat sepenggal kalimat Re: ucapkan saat Herman memaksa Re: untuk menemui putrinya, “Gue keringatan. Gue ini pelacur. Gue gak mau dia terkena keringat pelacur,” lirih Re: berucap. Saat membaca bagian ini, hati saya tertegun, tenggorokan terasa serak.
Di dunia Re: benar-benar kelam. Hal ini tercermin pada awal cerita, di mana Sinta, teman sekamar dan seprofesi Re: tewas tertabrak. Re: meyakini bahwa Sinta dibunuh oleh Mami Lani, seorang germo yang menaungi Re: dan Sinta. Sinta diduga dibunuh karena khawatir menjadi ancaman bagi usaha Mami Lani. Usut punya usut Sinta ingin membuka usaha yang sama seperti Mami Lani, rumah bordil. Setidaknya itulah alasan yang cukup kuat yang dilontarkan Re: atas kematian sahabatnya, Sinta. Kasus serupa juga pernah dialami teman Re: yang hendak mengundurkan diri dari naungan Mami Lani.
Bagian terperih dari novel ini menurutku adalah pada dua bagian terakhir. Bingkisan Terakhir dan Tetirah. Pada Bingkisan Terakhir adalah fase penciptaan kesedihan pembaca, di mana penulis memuat cerita hari-hari terakhir sebelum Re: ditemukan tewas disalib di tiang listrik pinggir jalan dengan siletan di tubuhnyn. Sementara Tetirah adalah klimaksnya. Surat yang sengaja ditinggalkan Re: untuk Herman dan Melur. Saat membaca surat itu tangisku pecah. Aku seolah merasakan kesedihan Herman yang ditinggalkan tambatan hatinya, kesedihan Melur yang baru mengetahui Re: adalah ibunya setelah 24 tahun, bahkan kesedihan Re: yang merasa dirinya terlalu hina untuk bermimpi menjadi teman hidup Herman dan ibu dari Melur juga begitu menusuk hati.
Tapi,
Aku taku mau kotori kamu.
Seperti aku tak hendak kotori Melur dengan keringatku.
Masa depan terbentang indah di hadapanmu.
Tak kan kunodai, meski lewat mimpi ‘tuk menjadi teman hidupmu.
Aku Cuma bisa menangis bahagia dalam hati.
Mana ada yang tak bahagia, jika dicintai sepenuh hati.
Novel ini tak semata-mata hanya menceritakan kehidupan Re:, tapi juga menceritakan roda bisnis dan praktik dunia pelacuran. Aku merekomendasikan buku ini untuk dibaca oleh teman-teman. Buku ini bukan hanya sekadar bacaan, tapi juga pengingat bahwa masih teramat banyak perempuan yang terluka dan teraniaya. Setidaknya itulah yang dikatakan Kang Maman lewat tulisannya dalam Catatan Penulis di novel ini. Selamat menyelami dunia 'Re:'.
Penulis: Garis Khatulistiwa/@gariskhatulistw
Suka dengan blog ini? Mari dukung penulis agar tetap
konsisten membagikan artikel selanjutnya!٩( ᐛ )( ᐖ )۶
Pemberian dukungan dapat di saweria.co/babayagee



Komentar
Posting Komentar