Bogor dan Perasaan Seperti di Film Romantis

Sejak September saya telah menanti-nantikan hujan turun. Saya sudah tidak tahan dengan gelombang panas yang terjadi sejak pertengahan tahun hingga setidaknya Oktober ini. Saya merasa dunia benar-benar panas. Syukurnya per November ini, ketika saya menulis cerita ini, hujan telah berjatuhan di hampir setiap hari. “Ademnya dunia,” gumam saya.

Di cuaca yang teduh dan sejuk karena musim hujan seperti sekarang ini, saya pikir ini adalah waktu yang tepat untuk bertamasya kecil-kecilan dengan kekasih –Garis. Bogor, pemilik julukan kota hujan sepertinya menjadi destinasi yang tepat kali ini. Yaa, saya tahu seharusnya di saat musim hujan seperti ini sebaiknya menghindari Bogor apabila tidak ingin kehujanan. Yaa, tapi inilah saya, di mana ada cobaan di sana saya datang hahaha.

Kenapa Bogor? Saya dan Garis teringat terakhir kali kami ke Bogor, tepatnya Kebun Raya Bogor mungkin sekitar tahun 2018 atau 2019. Saat itu kami masih duduk di bangku kuliah dan tentunya sebelum COVID-19 melanda. Kunjungan kami ke Kebun Raya Bogor diniatkan untuk bernostalgia mengenai kunjungan terakhir kami ke sana. Namun, saya juga menambahkan agenda, yaitu mengunjungi Museum Zoologi yang berada di dalam Kebun Raya. Saya pikir ini menjadi objektif utama ke Bogor daripada nostalgia itu sendiri.

Saya adalah seseorang yang sangat tertarik dengan dunia hewan. Saya sangat antusias melihat fosil ikan paus biru yang ada di Museum Zoologi. April di tahun yang sama, saya dan Garis sempat mengunjungi Animalium BRIN, suatu tempat mengenai ekowisata tentang konservasi hewan. Saya benar-benar tertarik dengan kehidupan dan sejarah hewan. Syukurnya, kesenangan saya ini sangat didukung oleh Garis. 

Saya berpikir demikian karena Garis sangat antusias ketika saya sedang membahas hewan. Seringkali dia juga bertanya mengenai hewan-hewan tertentu. Saya juga merasa Garis terkesima saat saya berperilaku nerd tentang perhewanan duniawi ini.

Baca Juga: Bisa Jadi Apotek Hidup, Yuk, Tanam 5 Jenis Tanaman Ini di Rumah!

Tanpa basa-basi lagi, mari lanjut ke cerita perjalanan kami ke Bogor, tanpa Google Maps. Yap, saya pikir ini perlu di-highlight. Melakukan perjalanan jauh, ke suatu tempat yang saya tidak familiar tanpa bantuan Google Maps merupakan kebanggaan bagi saya. Yaa memang, sih, jalanannya kebanyakan lurus aja. Tetap saja di sepanjang perjalanan muncul keraguan tentang saya harus menempuh jalur mana.

Perjalanan kali ini kami mulai dari Pondok Kacang dan langsung menuju Bogor. Saat itu cuaca teduh berawan, waktu yang tepat untuk menyusuri jalan. Perkiraan perjalanan akan memakan waktu selama satu sampai satu setengah jam. Sebenarnya ini waktu yang cukup singkat, hanya saja jalur Parung yang panjang cukup membuat bosan. Supaya perjalanan lebih menyenangkan dan passanger princess tidak merasa bosan, saya menginisiasi berbagi headset nirkabel untuk mendengarkan musik. Catatan penting: Jangan ditiru yaa karena ini bahaya. Sebab, beresiko kecelakaan karena tidak dapat mendengar situasi lalu lintas yang terjadi.

Untuk sampai ke Bogor, saya mengandalkan Si Kuro, motor Vario kebanggaan saya. Sepanjang perjalanan kami melihat ada beberapa kecelakaan kecil terjadi. Hal ini membuat kami berpikir apakah ini pertanda bahwa tidak seharusnya kami melanjutkan perjalanan. Memang bandel, kami pun tetap melanjutkan perjalanan. Ada banyak hal yang kami bicarakan, mulai dari mengomentari segala hal yang kita lalui di perjalanan ini. Bahkan kami pun bernyanyi lagu kesukaan bersama. Perjalanan yang cukup menyenangkan.

Tidak terasa sekitar pukul 11 siang kami sudah memasuki kawasan Kota Bogor. Kala itu rintik hujan mulai turun. Kami pun bersegera memasuki area Kebun Raya Bogor. Dengan merogoh kocek Rp46.000 untuk tiket masuk dua orang dewasa dan satu motor. FYI, harga tiket sudah termasuk biaya penitipan satu unit helm. Berhubung kepala Garis berharga, jadi kami masing-masing memakai helm. Dua helm pun akhirnya dititipkan dengan biaya tambahan sebesar Rp5.000 saja untuk satu unit tambahan helm.

Ah, Saya benar-benar kecewa! Ternyata tempat yang saya sangat ingin kunjungi, yaitu Museum Zoologi tengah dalam tahap renovasi sampai akhir tahun ini. Sungguh, saya sedih gagal melihat fosil ikan paus biru, si Ballus. Sudah terlanjur sampai, akhirnya kami memutuskan untuk berkeliling santai di Kebun Raya sembari menikmati sejuknya udara di sana. Habis turun hujan, aroma petrikor di sini sangat tercium. Aroma yang cukup menenangkan.

wisata-ke-kebun-raya-bogor
Dok. Pribadi

Memiliki luas 87 hektare, kami memutuskan untuk berkeliling menggunakan sepeda. Saya kira kalau berjalan kaki sepertinya kaki akan gempor. Sepeda di sini disewakan per unit dengan banderol Rp20.000 per jam. Tadinya, kami ingin menyewa skuter listrik, sayangnya harganya Rp60.000. Harga ini terlalu mahal untuk kami.  Namun, setelah menempuh perjalanan dengan sepeda ternyata skuter listrik setimpal dengan harganya. “SAYA CAPEK MAMPUS GOWES SEPEDA! APALAGI PAKE CELANA DENIM YANG KAYAK KARUNG,” keluh saya. 

Jujur, gowes kali ini memang menyebalkan. Pertama, sepeda yang kami pakai tidak begitu nyaman. Gigi pada sepeda tidak berfungsi seperti semestinya. Kami sangat bergantung pada gigi sepeda, karena rute Kebun Raya itu melandai, menurun, dan menanjak. Apabila gigi tidak berfungsi, wassalam lah kami saat menempuh tanjakan. Saya harap ini menjadi catatan untuk pengelola Kebun Raya untuk merawat tiap-tiap kendaraan sewaan.

Oiya, berkeliling dengan sepeda membuat saya dan Garis merasa sedang berada di adegan film romantis. Apalagi dalam perjalanan ini saya memutar musik lewat tape yang saya bawa. Terima kasih untuk Polka Wars yang telah menemani sepedaan kami kali ini. Saat bersepeda dan menyanyikan lagu-lagu Polka Wars, Garis berkata, “udah kayak jalan sama tukang getuk keliling, naik sepeda sambil nyetel lagu!” Sontak kami pun tertawa. 

wisata-ke-kebun-raya-bogor

Lelah mengayuh sepeda, kami pun santai sejenak di bangku-bangku yang tersedia. Duduk di bawah pohon rindang, melihat sekeliling orang-orang lalu-lalang. Tidak jarang kami melihat sekumpulan pengunjung yang skuteran sambil mengabadikan momen. Bahkan, ada sekumpulan pemuda yang sepertinya sedang membuat konten untuk media sosial mereka.

Kami juga tidak ingin ketinggalan. Di tengah waktu santai, kami berdiskusi mengenai konten apa yang akan kami buat, serta destinasi berikutnya. Waktu sewa sepeda hampir habis. Kami bergegas mengembalikan sepeda ke tempat semula. Jangan sampai dikenakan biaya tambahan waktu.

Tujuan berikutnya telah ditentukan, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Surya Kencana. Hanya perlu menyebrang dari Kebun Raya, kami pikir ini adalah destinasi yang ideal. Sebab, kami tidak memerlukan kendaraan apapun untuk sampai di sana. Sebelumnya, kami telah menentukan daftar makanan yang akan kami santap di sana. Daftar yang kami pilih tidak banyak, hanya bacang panas dan lumpia basah. Kedua makanan tersebut kami dapat atas rekomendasi pengguna-pengguna TikTok. 

wisata-ke-kebun-raya-bogor
Dok. Pribadi

Saya senang menyusuri tiap-tiap area Surya Kencana. Area ini benar-benar ramah pejalan kaki. Pedestrian di wilayah ini cukup diperhatikan oleh pemerintah setempat. Wajar saja, Surya Kencana ini sepertinya memang ditujukan untuk wisata kuliner dan belanja. Sebenarnya Surya Kencana merupakan China Town-nya Bogor. Jadi, jangan heran apabila banyak ornamen khas Cina atau menemukan kuliner-kuliner dari babi.

wisata-ke-kebun-raya-bogor
Dok. Pribadi

Hal yang sangat disayangkan, di beberapa titik tercium aroma pesing dan busuk sampah. Singkat cerita, sampailah kami di Bacang Panas Pak Hadi. Katanya, sih, bacang viral haha. Di sini, saya membeli satu bacang ketan isi ayam, sementara Garis memesan bacang nasi isi daging sapi. Harga masing-masing Rp10.000. Bacang Panas Pak Hadi juga menawarkan kondimen lain seperti tetelan dan bala-bala.

wisata-ke-kebun-raya-bogor
Dok. Pribadi

Menurut kami, Bacang Panas Pak Hadi cukup unik. Kami sebelumnya sudah tahu bacang seperti apa. Terkadang kami sarapan pagi dengan memakan bacang yang kami beli di sekitar Graha Raya Bintaro. Bacang yang biasa kami konsumsi itu berupa nasi, tapi kali ini bahan utamanya ketan. Rasanya lebih gurih dari bacang nasi. Perpaduan gurih ketan dan manis ayam kecap, ditambah tuangan sambal, uhmm.. rasanya mantap dan saling melengkapi. 

Seusai makan bacang, kami lanjut menyusuri Surya Kencana untuk mencari lumpia basah. Ada banyak hal menarik perhatian saya, seperti konstruksi bangunan yang mempertahankan unsur oriental khas Cina. Di beberapa titik saya melihat toko obat herbal  dengan kabinet yang terdiri dari laci-laci seperti rumah burung dara. 

wisata-ke-kebun-raya-bogor

Setelah jauh menyusuri Surya Kencana, akhirnya terlihat juga penjual lumpia basah. Sebenarnya Garis sudah putus asa mencari lumpia basah. Namun, saya memotivasi Garis untuk terus mencari. Kami sudah berjalan sejauh ini, sekitar satu kilometer. “Masa kamu nyerah, sih. Mungkin aja udah lima sentimeter lagi di depan mata kita,” guyon Bagas sambil meniru adegan film 5 CM. Ternyata benar dugaan saya! Saat kami menoleh terlihat gerobak hijau bertuliskan “Lumpia Basah”. Kami pun tertawa.

Berada di depan restoran kecil Soto Kuning Bogor Ibu May, terdapat gerobak hijau. Itulah penjual lumpia basah yang kami cari. Katanya, pedagang ini sudah berjualan lumpia sejak 1972. Mereka memasak lumpia menggunakan arang. Cara lama yang mereka pertahankan. Kami pun hanya membeli satu buah lumpia basah. Per satuannya dihargai Rp16.000. Menurut Garis, lumpia basah dengan harga segitu cukup mahal.

Bingung akan makan di mana, akhirnya kami memutuskan ke Soto Kuning Ibu May. Maklum, di Lumpia Basah ini tidak ada tempat duduk. Di Soto Kuning Ibu May kami juga memesan satu mangkuk soto kuning dan satu nasi. Masing-masing dihargai Rp30.000 dan Rp5.000. Sebelum soto kuning datang, kami mencicipi lumpia basah terlebih dahulu. Rasanya sangat gurih. Isian toge dan rebung renyah di mulut. Terlebih dituang sambal, rasa isian lumpia dan sambal saling mengikat di mulut. 

wisata-ke-kebun-raya-bogor
Dok. Pribadi

Soto kuning tiba. Nikmatnya menyantap soto hangat di tengah cuaca mendung dan suhu udara yang cukup dingin ini. Pada suapan terakhir, hujan turun begitu deras. Bermodalkan payung kecil, kami menerobos hujan. Badan kami terkena tampias hujan. Mencegah basah kuyup, kami sempat meneduh di suatu toko. Sampai akhirnya waktu menunjukkan pukul empat sore, Garis memaksa untuk terus menembus hujan sampai Kebun Raya. Kami khawatir motor kami tidak bisa keluar. Benar, motor kami masih terparkir di Kebun Raya.

Lucu sekali perjalanan menerobos hujan ini. Saya dan Garis banyak tertawa karena kehujanan. Kami basah kuyup, baju basah, sepatu pun basah. Namun, kami senang mendapati momen itu. Situasi yang terasa romantis berada di bawah payung kecil berduaan menghadapi hujan deras hahaha.

Huh. Akhirnya kita sampai di parkiran. Kami bersiap memakai jas hujan dan mulai berangkat meninggalkan Bogor. Di perjalanan balik, kami cenderung diam-diaman. Tidak seperti awal perjalanan yang dipenuhi canda tawa dan obrolan. Mungkin karena Garis sudah merasa lelah dan mengantuk. Dia pun tidak banyak merespon hal-hal yang dilalui dalam perjalanan pulang. Mungkin energinya habis.

Apalagi sepanjang perjalanan pulang, hujan turun merata dari Bogor sampai Bintaro. Singkat cerita, sesampainya di rumah Garis, ia langsung membuatkan mie untuk kami berdua. Badan langsung hangat dengan sepiring mie. Saat hujan begini, mie terasa berkali-kali lebih nikmat. Tubuh sudah hangat, perut terisi, waktunya saya pulang ke rumah dengan hati yang gembira dan terisi penuh.

 Penulis: Bagaskoro/@babayagee | Penyunting: Garis Khatulistiwa/@gariskhatulistw

Suka dengan blog ini? Mari dukung penulis agar tetap
konsisten membagikan artikel selanjutnya!٩( ᐛ )( ᐖ )۶
Pemberian dukungan dapat di saweria.co/babayagee

Komentar